Jumat, 16 Juli 2010

STROKE NON HEMORAGIK

STROKE NON HEMORAGIK

A. Definisi
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176).

B. Etiologi
Penyebab-penyebabnya antara lain:
1. Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak )
2. Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain )
3. Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak)
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

C. Faktor resiko pada stroke
1. Hipertensi
2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
3. Kolesterol tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
6. Diabetes Melitus ( berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
7. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi)
8. Penyalahgunaan obat ( kokain)
9. Konsumsi alkohol
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

D. Manifestasi klinis
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain bersifat:
a. Sementara
Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
b. Sementara,namun lebih dari 24 jam
Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND)
c. Gejala makin lama makin berat (progresif)
Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution
d. Sudah menetap/permanen
(Harsono,1996, hal 67)

E. Patways
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
2. Angiografi serebral
membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri
3. Pungsi Lumbal
- menunjukan adanya tekanan normal
- tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)

G. Penatalaksanaan
1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

H.KOMPLIKASI
Hipoksia Serebral
Penurunan darah serebral
Luasnya area cedera
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

I. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

b. Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
- kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
- mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )
Data obyektif:
- Perubahan tingkat kesadaran
- Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
- gangguan penglihatan
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
- Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial ), polisitemia.
Data obyektif:
- Hipertensi arterial
- Disritmia, perubahan EKG
- Pulsasi : kemungkinan bervariasi
- Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
3. Integritas ego
Data Subyektif:
- Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
- Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
- kesulitan berekspresi diri
4. Eliminasi
Data Subyektif:
- Inkontinensia, anuria
- distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
5. Makan/ minum
Data Subyektif:
- Nafsu makan hilang
- Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
- Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
- Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
- Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
- Obesitas ( factor resiko )
6. Sensori neural
Data Subyektif:
- Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
- nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
- Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
- Penglihatan berkurang
- Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral ( sisi yang sama )
- Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
- Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
- Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam ( kontralateral )
- Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
- Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
- Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
- Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
- Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral

7. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
- Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
- Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
8. Respirasi
Data Subyektif:
- Perokok ( factor resiko )
9.Keamanan
Data obyektif:
- Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
- Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
- Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
- Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
- Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri
10. Interaksi social
Data obyektif:
- Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

J. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral
Dibuktikan oleh :
- Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori
- Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan
- Deficit sensori , bahasa, intelektual dan emosional
- Perubahan tanda tanda vital

Tujuan Pasien / criteria evaluasi ;
- Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motor
- Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK
- Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan
Intervensi :
Independen
- Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK
- Monitor dan catat status neurologist secara teratur
- Monitor tanda tanda vital
- Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya )
- Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang
- Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
- Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral .
- Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan sesuai indikasi
Kolaborasi
- berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
- berikan medikasi sesuai indikasi :
• Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )
• Antihipertensi
• Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.
• Manitol

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk, ketidakmampuan mengatasi lendir
Kriteria hasil:
- Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
- Ekspansi dada simetris
- Bunyi napas bersih saat auskultasi
- Tidak terdapat tanda distress pernapasan
- GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
- Penghisapan sekresi
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif
Kriteria hasil:
- RR 18-20 x permenit
- Ekspansi dada normal
Intervensi :
o Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
o Auskultasi bunyi nafas.
o Pantau penurunan bunyi nafas.
o Pastikan kepatenan O2 binasal
o Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
o Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
o Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan

DAFTAR PUSTAKA


1. Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
2. Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993
3. Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996
4. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
5. Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
6. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996

ANGIOFIBROMA

A. PENGERTIAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

B. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak .

C. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.



G. STADIUM ANGIOFIBROMA
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :
1. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
2. Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
3. Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.







H. PENGKAJIAN
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).

d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

e. Tanda dan gejala :
 Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.

 Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.

 Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.

 Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
 Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

 Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
 Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
 Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
 Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
 Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)


H. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
 Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
 Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
 Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
 Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
 Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
 Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
 Orientasikan pasien terhadap lingkungan
 Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
 Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
 Bicara dengan gerak mulut yang jelas
 Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
 Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
 Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
 Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
 Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
 Berikan dorongan higiene oral yang sering
 Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
 Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
 Pantau masukan makanan tiap hari.
 Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
 Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
 Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
 Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
 Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
 Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
 Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
 Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
 Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
 Tekankan higiene personal
 Pantau suhu
 Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
 Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
 Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi :
 Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
 Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
 Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung




















Kepustakaan

1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4. Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
5. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
8. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

A. PENGERTIAN
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli 200)

B. ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian – abdomen yang sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah dab kecil.
Batasan – batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk panggul dari panggul besar. Di depan dan kedua sisi, otot – otot abdominal, tulang –tulang illiaka dan iga – iga sebelah bawah. Di belakang, tulang punggung, dan otot psoas dan quadratrus lumborum.
Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung, dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai dalam rongga ini.




D. PATHOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
 Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
 Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
 Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

E. DAMPAK MASALAH TERHADAP KLIEN
Setiap musibah yang dihadapi seseorang akan selalu menimbulkan dampak masalah baik bio - psiko- social-spiritual yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perubahan pola kehidupan. Dampak dari pre operasi :
a. Dampak pada fisik :
 Pola Pernapasan :
Keadaan ventilasi pernapasan terganggu jika terdapat gangguan / instabilitasi cardiovaskuler, respirasi dan kelainan – kelainan neurologis akibat multiple trauma.
Penyebab yang lain adalah perdarahan didalam rongga abdominal yang menyebabkan distended sehingga menekan diafragma yang akan mempengaruhi ekspansi rongga thoraks.
 Pada sirkulasi
Perdarahan dalam rongga abdomen karena cidera dari oragan – organ abdominal yang padat maupun berongga atau terputusnya pembuluh darah, sehingga tubuh kehilangan darah dalam waktu singkat yang mengakibatkan shock hipovolemik dimana sisa darah tidak cukup mengisi rongga pembuluh darah.
 Perubahan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan disebabkan karena suplai darah yang dipompakan jantung ke seluruh tubuh berkurang / tidak mencukupi kesesuaian kebutuhan akibat dari shock hipovolemic.
 Penurunan Volume cairan tubuh.
Perdarahan akut akan mempengaruhi keseimbangan cairan di dalam tubuh, dimana cairan intra celluler (ICF), Extracelluler (ECF) diantaranya adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah (IV) dan cairan yang berada di dalam jaringan di antara sel - sel (ISF) akan mengalami defisit atau hipovolemia.
 Kerusakan Integritas kulit.
Trauma benda tumpul dan tajam akan menimbulkan kerusakan dan terputusnya jaringan kulit atau yang dibagian dalamnya diantaranya pembuluh darah, persyarafan dan otot didaerah trauma.
b. Dampak Psikologis :
Perasaan cemas dan takut akan menyelimuti diri pasien, hal ini disebabkan karena musibah yang dialaminya dan kurangnya informasi tentang tindakan pengobatan dengan jalan pembedahan / operasi.
c. Dampak Sosial :
Mengingat dana yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan tidak sedikit dan harga obat – obatan yang cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan membutuhkan waktu yang amat segera (sempit)

F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip – prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja.
1.1 Anamnesa
1.1.1 Biodata
1.1.2 Keluhan Utama
 Keluhan yang dirasakan sakit.
 Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
1.1.3 Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
 Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
 Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.
 Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
 Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
1.1.4 Riwayat Penyakit yang lalu
 Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
 Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal hemostasis.
1.1.5 Riwayat psikososial spiritual
 Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
 Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
 Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).
1.2 Pemeriksaan Fisik
1.2.1 Sistim Pernapasan
 Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya.
 Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
 Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
 Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
1.2.2 Sistim cardivaskuler (B2 = blead)
 Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis.
 Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks.
1.2.3 Sistim Neurologis (B3 = Brain)
 Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
 Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak
 Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
1.2.4 Sistim Gatrointestinal (B4 = bowel)
 Pada inspeksi :
• Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
• Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen.
• Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
• Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi.
 Pada palpasi :
• Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
• Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
• Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
 Pada perkusi :
 Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
 Kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum abdomen.
 Pada Auskultasi :
 Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang.
 Pada rectal toucher :
 Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
 Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
1.2.5 Sistim Urologi ( B5 = bladder)
 Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
 Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
 Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
1.2.6 Sistim Tulang dan Otot ( B6 = Bone )
• Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
• Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
1.3 Pemeriksaan Penunjang :
1.3.1 Radiologi :
 Foto BOF (Buick Oversic Foto)
 Bila perlu thoraks foto.
 USG (Ultrasonografi)
1.3.2 Laboratorium :
 Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
 Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
1.3.3 Elektro Kardiogram
 Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah perawatan yang actual maupun potensial pada penderita pre operatis trauma tumpul abdomen adalah sebagai berikut :
2.1 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
2.2 Perubahan perfusi jaringan sehubngan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.
2.3 Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan.
2.4 Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah.
2.5 Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi / informasi inadquat yang itandai dengan pasien bertanya tentang dampak dari musibah yang dialami dan akibat dari pembedahan.
3. Perencanaan
3.1 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
Tujuan :
 Keseimbangan cairan tubuh teratasi.
 Sirkulasi dinamik (perdarahan) dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
 Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala – gejala dehidrasi.
 Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr %
 Tanda vital dalam batas normal.
 Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemic
2) Jelaskan tentang sebab – akibat dari kekurangan cairan / perdarahan serta tindakan yang akan kita lakukan.
3) Observasi gejala – gejala vital, suhu, nadi, tensi, respirasi dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit.
4) Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan :
 Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi.
 Menghentikan perdarahan bila didapat trauma tajam dengan jalan didrug (ditekan) atau diklem / ligasi.
 Pemasangan magslang dan katheter + uro – bag.
 Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %.
 Pemasangan lingkar abdomen.
 Pemeriksaan EKG.
6) Kolaborasi dengan tim radiology dalam pemeriksaan (BOF) dan foto thoraks.
7) Kolaborasi dengan tim analis dalam pemeriksaan (DL : darah lengkap) (Hb serial) dan urine lengkap.
8) Monitoring setiap tindakan perawatan / medis yang dilakukan serta catat dilembar observasi.
9) Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat dilembar observasi.
10) Motivasi kepada klien dan keluarga tentang tindakan perawatan / medis selanjutnya.
3.2 Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.
Tujuan :
 Tidak terjadi / mempertahankan perfusi jaringan dalam kondisi normal.
Kriteria hasil :
 Status haemodinamik dalam kondisi normal dan stabil.
 Suhu dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan.
 Capillary reffil kurang dari 3 detik.
 Produksi urine lebih dari 30 ml/jam.
Rencana Tindakan
1) Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta kontrol adanya perdarahan.
2) Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil.
3) Observasi tanda – tanda vital setiap 15 menit.
4) Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral.
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan infus.
6) Monitoring input dan out put terutama produksi urine.
3.3 Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan.
Tujuan :
 Rasa nyeri yang dialami klien berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan nyerinya berkurang atau hilang.
 Klien nampak tidak menyeringai kesakitan.
 Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tentang kualitas, intensitas dan penyebaran nyeri.
2) Beri penjelasan tentang sebab dan akibat nyeri, serta jelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan.
3) Berikan posisi pasien yang nyaman dan hindari pergerakan yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri.
4) Berikan tekhnik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan jalan tarik napas panjang dan dikeluarkan secara perlahan – lahan.
5) Observasi tanda – tanda vital, suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.


6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik bilamana dibutuhkan, (lihat penyebab utama)
3.4 Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah.
Tujuan :
 Kecemasan dapat diatasi.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan tidak cemas.
 Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah.
 Klien dapat menggunakan koping mekanisme yang efektif secara fisik – psiko untuk mengurangi kecemasan.
Rencana Tindakan :
1) Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa kekhawatirannya.
2) Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan.
3) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4) Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu mengungkapkan perasaannya.
5) Observasi tanda – tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6) Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan prosedur.
7) Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
8) Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga.
3.5 Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang sebab dan akibat dari trauma serta dampak dari pembedahan yang ditandai dengan pasien / keluarga sering bertanya dari petugas yang satu ke petugas yang lain, klien / keluarga nampak belum kooperatif.
Tujuan :
 Klien / keluarga mengerti dan memahami tentang tindakan pembedahan yang akan dilakukan.
Kriteria hasil :
 Klien / keluarga memahami prosedur dan tindakan yang akan dilakukan.
 Klien kooperatif setiap tindakan yang terkait dengan persiapan pembedahan.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien / keluarga.
2) Jelaskan secara sederhana tentang pengobatan yang dilakukan dengan jalan pembedahan.
3) Diskusikan tentang hal – hal yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan proses penyembuhan.
4) Berikan perhatian dan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
5) Anjurkan klien untuk berpartisipasi selama dalam perawatan.
6) Lakukan check list untuk persiapan pre operasi antara lain informed consent, alat/obat dan persiapan darah untuk transfusi.
4. Pelaksanaan Perawatan
Dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana perawatan dengan modifikasi sesuai dengan kondisi pasien dan kondisi ruangan dan asuhan perawatan yang telah dilakukan di tulis pada lembar catata perawatan sesuai dengan tanggal, jam, serta tanda tangan, nama yang melakukan.
5. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan setiap saat setelah rencana perawatan dilakukan serta ssat pasien pindah dari IRD, sedangkan cara melakukan evaluasi sesuai dengan criteria keberhasilan pada tujuan rencana perawatan. Dengan demikian evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan criteria / sasaran secara rinci di tulis pada lembar catatan perkembangan yang berisikan S-O-A-P-I-E-R (data Subyek, Obyek, Assesment, Implemetasi, Evaluasi dan Revisi.). Dari catatan perkembangan ini seorang perawat dapat mengetahui beberapa hal antara lain :
1. Apakah datanya sudah relevan dengan kondisi saat ini.
2. Apakah ada data tambahan selama melaksanakan intervensi (perencanaan perawatan).
3. Adakah tujuan perencanaan yang belum tercapai.
4. Tujuan perencanaan perawatan manakah yang belum tercapai.
5. Apakah perlu adanya perubahan dalam perencanaan perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Callege Of Surgeons. 1997. Advced Trauma Life Suport (ATLS) for Doctors, Edition 6, Amerika Serikat.

2. Departemen Kesehatan RI. 1990. Pusat Diklat Tenaga Kesehatan, Penerapan Proses Keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Depkes RI.

3. Horison’ s. Gangguan Saluran Pencernaan, Edisi 9 Terjemahan Adji Dharma, EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

4. Dolan T. Joant. 1991. Critical Care Nursing Clinical Management Through The Nursing Proces, New York. Amerika Serikat, FA Davis Company. Philadephia.

5. Doenges E. Marilyn. Et All. 1987. Nursing Care Plans, Edition 2, Company Philadephia.

6. Wolf. Weitzel. Fuest. 1984. Dasar – Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta. PT Gunung Agung.

UROLITHIASIS

UROLITHIASIS

Pengertian
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria.

b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.

c. Faktor lain
a) Infeksi
Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan Batu Saluran Kencing (BSK) Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali.

b) Stasis dan Obstruksi Urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah Infeksi Saluran Kencing.

c) Jenis Kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3 : 1

d) Ras
Batu Saluran Kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.

e) Keturunan
Anggota keluarga Batu Saluran Kencing lebih banyak mempunyai kesempatan

f) Air Minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat.

g) Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk.

h) Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringan.

i) Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas Batu Saluran Kencing berkurang. Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra).

Patogenesis
Sebagian besar Batu Saluran Kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.

Teori Terbentuknya Batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

PENGKAJIAN DATA DASAR
1. Riwayat atau adanya faktor resiko
a. Perubahan metabolik atau diet
b. Imobilitas lama
c. Masukan cairan tak adekuat
d. Riwayat batu atau Infeksi Saluran Kencing sebelumnya
e. Riwayat keluarga dengan pembentukan batu

2. Pemeriksaan fisik berdasarka pada survei umum dapat menunjukkan :
a. Nyeri. Batu dalam pelvis ginjal menyebabkan nyeri pekak dan konstan. Batu ureteral menyebabkan nyeri jenis kolik berat dan hilang timbul yang berkurang setelah batu lewat.
b. Mual dan muntah serta kemungkinan diare
c. Perubahan warna urine atau pola berkemih, Sebagai contoh, urine keruh dan bau menyengat bila infeksi terjadi, dorongan berkemih dengan nyeri dan penurunan haluaran urine bila masukan cairan tak adekuat atau bila terdapat obstruksi saluran perkemihan dan hematuri bila terdapat kerusakan jaringan ginjal

3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisa : warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 – 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen : menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang uriter.
e. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureteroskopi : visualisasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu atau efek ebstruksi.
g. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.

Penatalaksanaan
a. Menghilangkan Obstruksi
b. Mengobati Infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
Komplikasi
a. Obstruksi Ginjal
b. Perdarahan
c. Infeksi
d. Hidronefrosis

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri pada daerah pinggang) berhubungan dengan cedera jaringan sekunder terhadap adanya batu pada ureter atau pada ginjal
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya obstruksi (calculi) pada renal atau pada uretra.
3. Kecemasan berhubungan dengan kehilangan status kesehatan.
4. Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi.















DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI

HERNIA INGUINALIS

HERNIA INGUINALIS

a. Pengertian
Hernia Inguinalis adalah Sutu penonjolan kandungan ruangan tubuh melalui dinding yang dalam keadaannormal tertutup. ( Richard E, 1992 )
Hernia Inguinalis adalah prolaps sebagian usus ke dalam anulus inginalis di atas kantong skrotum, disebabkan oleh kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital. ( Cecily L. Betz, 1997)

b. Etiologi
Hernia Inguinalis di sebabkan oleh :
a. Kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital
b. Anomali Kongenital
c. Sebab yang di dapat
d. Adanya prosesus vaginalis yang terbuka
e. Peninggian tekanan di dalam rongga perut
f. Kelemahan dinding perut karena usia
g. Anulus inguinalis yang cukup lama
c. Manifestasi Klinis
1. Menangis terus
2. muntah
3. Distensi Abdoman
4. Feses berdarah
5. Nyeri
6. Benjolan yang hilang timbul di paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau megedan dan menghilang setelah berbaring
7. Gelisah, kadang-kadang perut kembung
8. Konstipasi
9. Tidak ada flatus

d. Patologi dan patogenesis
Selama tahap-tahap akhir perkembangan prosesus vaginalis janin, suatu penonjolan peritoneum yang berasal dari cincin interna terbentang ke arah medial serta menuruni setiap kanalis inguinalis. Setelahmeninggalkan kanalis tersebut pada cincin eksterna, maka prosesus tersebut pada pria akan berbelok ke bawah memasuki skrotum dan akan membungkus testis yang sedang berkembang. Lumen biasanya menutup dengan sempurna sebelum lahir kecuali pada bagian yang membungkus testis. Bagian tersebut akan tetap tinggal sebagai suatu kantung potensial tunika vaginalis. Pada wanita prosesus tersebut terbentang mulai dari cincin eksterna hingga ke dalam labia mayora. Bagian proximal prosesus vaginalis dapat mengalami kegagalan penutupan sehingga membentuk suatu kentung hernia dimana viskus abdomaen dapat memasukinya. Bagian yang tetap terbuka itu dapat membantang ke bawah kadang-kadang hingga ke dalam kantung testis dan dapat menyatu dengan tunuka vaginalis sehingga bersama-sama membentuk suatu hernia lengkap.
Hernia inguinalis terutama sering di temukan pada bayi prematur. Di duga karena lebih sedikitnya waktu perkembangna di dalam kandungan serta lebih sedikitnya waktu bagi penutupan seluruh penutupan seluruh prosesus tersebut. Jika testis gagal untuk turun ( Kriptorkoid ), maka biasanya terdapat kantung hernia yang besar karena sesuatu telah menghentikan penurunan testis maupan penutupan prosesus peritoneum tersebut. Anak-anak dengan anomali kongnital terutama yang melibatkan daerah abdoman bagian bawah, pelvis atau perineum seringmempunyai hernia inguinalis sebagai bagian dari kompleks tersebut.














PATHWAY

Proximal prosesus vaginalis

Gagal menutup

Membentuk kantung hernia

Viskus abdomen masuk

Terbuka pindah lokasi  p’ngkatan tek intra abdomen&kelemahan otot dinding trigonum HasselBach
testis turun keskrotum
Membentang dalam kantung testis menonjol kebelakang canalis inguinalis

Turun keinguinal

H. Medialis

Vasokontriksi vaskuler
Desakan/teka nan

Nyeri

Gg. rasa nyaman nyeri
Menyatu dg. Tunika vaginalis tdk menutupnya prosesus vaginalis
Vagianalis peritoneum
Hernia lengkap penonjolan perut di lateral pembuluh epigastrika inferior

Jepitan cincin hernia fenikulus spermatikus H.lateralis 

canalis inguinalis

pembesaran inguinal

Heriography

Post Herniography
Dampak anetesi

Gg. fi. Sirkulasi
Hipersalivasi
COP meningkat

TD&HR meningkat

Suplai O2 berkurang
Gg. perfusi jaringan

Penumpukan sekret

Obs. Jln nfs

Bendungan vena
Bersihan jln nafas
Udem organ

Jepitan cincin hernia semakin bertambah H.Strangulata

Peredaran darah tergangguisi hernia nekrosis

Kantung transudat

Usus

Perforasi

Abses lokal

peritonitis

LAPORAN PENDAHULUAN INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

LAPORAN PENDAHULUAN
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

A. Pengertian
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
(Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

B. Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
1. Kandung kemih (sistitis)
2. uretra (uretritis)
3. prostat (prostatitis)
4. ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
1. ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
2. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c. Gangguan daya tahan tubuh
d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

C. Etiologi
1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
b. Mobilitas menurun
c. Nutrisi yang sering kurang baik
d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e. Adanya hambatan pada aliran urin
f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

D. Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
 masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
 Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
 Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
 Mobilitas menurun
 Nutrisi yang sering kurang baik
 System imunnitas yng menurun
 Adanya hambatan pada saluran urin
 Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.

Pathway : terlampir






E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
 Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
 Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
 Hematuria
 Nyeri punggung dapat terjadi
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
 Demam
 Menggigil
 Nyeri panggul dan pinggang
 Nyeri ketika berkemih
 Malaise
 Pusing
 Mual dan muntah

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
 Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
 Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
 Mikroskopis
 Biakan bakteri
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
5. Metode tes
 Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
 Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
 Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

G. Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
 Terapi antibiotika dosis tunggal
 Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
 Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
 Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
 Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
 Interansi obat
 Efek samping obat
 Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1. Efek nefrotosik obat
2. Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
 Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/
 Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/
 Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
 Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?

H. Pengkajian
1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
 Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
 Adakah obstruksi pada saluran kemih?
3. Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial.
 Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?
 Imobilisasi dalam waktu yang lama.
 Apakah terjadi inkontinensia urine?
4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
 Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
 Adakah disuria?
 Adakah urgensi?
 Adakah hesitancy?
 Adakah bau urine yang menyengat?
 Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
 Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah
 Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas
 Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
5. Pengkajian psikologi pasien:
 Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.

I. Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
1. Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

J. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
a. Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
c. Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
d. Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
e. Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
f. Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
g. Kolaborasi:
 Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas
 Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
h. Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih

2. Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
Intervensi:
a. Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b. Tentukan pola berkemih pasien
c. Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
d. Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal)
e. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
f. Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
g. Kolaborasi:
 Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
 Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.

3. Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
a. Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
b. Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
c. Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
d. Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri
e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.












DAFTAR PUSTAKA


Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.

Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.

Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.

Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.

LOW BACK PAIN

LOW BACK PAIN
A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu/seseorang yang mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya(2) . Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1 (2,4).
B. Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai). Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas (2,4) .
C. Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain(1,3).
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ internal yang lebih besar. Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat(1,3).
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi nyeri(1,3).
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung(2,4).
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (2,4).
D. Manifestasi Klinis
Pasien biasanya engeluh nyeri punngung akut maupun nyeri punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya. Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.
Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable lingkungan dan situasi kerja (2,4).
E. Evaluasi Diagnostik
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung bawah. Sinar X- vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis. USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang (2).


F. Penatalaksanaan
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi , gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia (2,4).
G. Pengkajian
Pasien nyeri pungung dibimbing untuk menjelaskan ketidaknyamanannya (missal lokasi, berat, durasi, sifat, penjalaran dan kelemahan tungkai yang berhubungan). Penjelasan mengenai bagaimana nyeri timbul dengan tindakan tertentu atau dengan aktifitas dimana otot yang lemah digunakan secara berlebihan dan bagaimana pasien mengatasinya. Informasi mengenai pekerjaan dan aktifitas rekreasi dapat membantu mengidentifikasi area untuk pendidikan kesehatan.
Selama wawancara ini, perawat dapat melakukan observasi terhadap postur pasien, kelainan posisi dan cara jalan. Pada pemeriksaan fisik, dikaji lengkungan tulang belakang, Krista iliakan dan kesimetrisan bahu. Otot paraspinal dipalpasi dan dicatat adanya spasme dan nyeri tekan. Pasien dikaji adanya obesitas karena dapay menimbulkan nyeri punggung bawah (2).
H. Diagnosa Keperawatan (2)
1. Nyeri b.d masalah muskuloskeletal
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, dan berkurangnya kelenturan
3. Kurang pengetahuan b.d teknik mekanika tubuh melindungi punggung
4. Perubahan kinerja peran b.d gangguan mobilitas dan nyeri kronik
5. Gangguan nutrisi : lebih dari kebutuhan tubuh b. d obesitas
I. Intervensi dan Implementasi (2)
1. Meredakan nyeri
Untuk mengurangi nyeri perawat dapat menganjurkan tirah baring dan pengubahan posisi yang ditentukan untuk memperbaiki fleksi lumbal. Pasien diajari untuk mengontrol dan menyesuaikan nyeri yang dilakukan melalui pernafasan diafragma dan relaksasi dapat membantu mengurangi tegangan otot yang berperan pada nyeri punggung bawah. Mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dengan aktifitas lain missal membaca buku, menonton TV maupun dengan imajinasi (membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal tersebut).
Masase jaringan lunak dengan lembut sangat berguna untuk mengurangi spasme otot, memperbaiki peredaran darah dan mengurangi pembendungan serta mengurangi nyeri. Bila diberikan obat perawat harus mengkaji respon pasien pada setiap obat.
2. Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilitas fisik dipantau melalui pengkajian kontinu. Perawat mengkaji bagaimana pasien bergerak dan berdiri. Begitu nyeri punggung berkurang, aktifitas perawatan diri boleh dilakukan dengan regangan yang minimal pada struktur yang cedera. Perubahan posisi harus dilakukan perlahan dan dibatu bila perlu. Gerakan memutar dan melenggok perlu dihindari. Pasien didorong untuk berganti-ganti aktifiats berbaring, duduk dan berjalan-jalan dalam waktu lama. Perawat perlu mendorong pasien mematuhi program latihan sesuai yang ditetapkan, latihan yang salah justru tidak efektif.
3. Meningkatkan mekanika tubuh yang tepat
Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar.
4. Pendidikan kesehatan
Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar
5. Memperbaiki kinerja peran
Tanggung jawab yang berhubungan dengan peran mungkin telah berubah sejak terjadinya nyeri punggung bawah. Begitu nyeri sembuh, pasien dapat kembali ke tanggung jawab perannya lagi. Namun bila aktifitas ini berpengaruh terhadap terjadinya nyeri pungung bawah lagi, mungkin sulit untuk kembali ke tanggung jawab semula tersebut tanpa menanggung resiko terjadinya nyeri pungggung bawah kronik dengan kecacatan dan depresi yang diakibatkan.
6. Mengubah nutrisi dan penurunan berat badan
Penurunan BB melalui penyesuaian cara makan dapat mencegah kekambuhan nyeri punggung, dengan melalui rencana nutrisi yang rasional yang meliputi perubahan kebaisaaan makan untuk mempertahankan BB yang diinginkan.
J. Evaluasi (2)
1. Mengalami peredaan nyeri
- Istirahat dengan nyaman
- Mengubah posisi dengan nyaman
- Menghindari ketergantungan obat
2. Menunjukkan kembalinya mobilitas fisik
- Kembali ke aktifitas secara bertahap
- Menghindari posisi yang menyebabkan yang menyebabkan ketidaknyamanan otot
- Merencanakan istirahat baring sepanjang hari
3. Menunjukkan mekanika tubuh yang memelihara punggung
- Perbaikan postur
- Mengganti posisi sendiri untuk meminimalkan stress punggung
- Memperlihatkan penggunaan mekanika tubuh yang baik
- Berpartisipasi dalam program latihan
4. Kembali ke tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
- Menggunakan teknik menghadapi masalah untuk menyesuaikan diri dengan situasi stress
- Memperlihatkan berkurangnya ketergantungan kepada orang lain untuk perawatan diri
- Kembali ke pekerjaan bila nyeri punggung telah sembuh
- Kembali ke gaya hidup yang produktif penuh
5. Mencapai BB yang diinginkan
- Mengidentifikasi perlunya penurunan BB
- Berpartisipasi dalam pengembangan rencana penurunan BB
- Setia dengan program penurunan BB
Daftar Pustaka :
1. Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
2. Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
3. Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
4. Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SPACE OCCUPYING LESSION ( SOL )

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SPACE OCCUPYING LESSION ( SOL )

A. Pengertian
SOL merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ; 130 )
Dalam Laporan Pendahuluan ( LP ) ini, penulis batasi pada Tumor Otak Adapun definisi Tumor Otak adalah proses pertumbuhan termasuk benigna dan maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang ( Bullock, 1996 ).

B. Etiologi
Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras, insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade kelima, keenam dan ketujuh .faktor resiko akan meningkat pada orang yang terpajan zat kimia tertentu ( Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas ), namun hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta dalam tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.

C. Tanda dan gejala
1. Tanda dan gejala peningkatan TIK :
a. Sakit kepala
b. Muntah
c. Papiledema
2. Gejala terlokalisasi ( spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena ) :
a. Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak
pada satu sisi tubuh ( kejang jacksonian )

b. Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral ( hilang
Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang berlawanan dengan tumor ) dan halusinasi penglihatan
c. Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan
dengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak terkoordinasi dan nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak disengaja )
d. Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadia, perubahan status
emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat diri
e. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli (
gangguan saraf kedelapan ), kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan lidah ( saraf kelima ), kelemahan atau paralisis ( saraf kranial keketujuh ), abnormalitas fungsi motorik.
f. Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.
( Brunner & Sudarth, 2003 ; 2170 )

D. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan ; memberi informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor dan meluasnya odema cerebral serta memberi informasi tentang sistem vaskuler
2. MRI ; membantu dalam mendeteksi tumor didalam batang otakdan daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang menggunakan CT Scan
3. Biopsi Stereotaktik ; dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberi dasar pengobatan serta informasi prognosis.
4. Angiografi ; memberi gambaran pembuluh darahserebral dan letak tumor



5. Elektro ensefalografi ; mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang
( Doenges, 2000 )

E. Pengkajian
1. Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan
2. Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu, riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis TB dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul
3. Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat, adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas, keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
4. Sirkulasi, gejala : nyeri kepala pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
5. Integritas Ego, Gejal : faktor stres, perubahan tingkah laku atau kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
6. Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
7. makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami perubahan selera. Tanda : muntah ( mungkin proyektil ), gangguan menelan ( batuk, air liur keluar, disfagia )
8. Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi, kejang, sensitiv terhadap gerakan
9. Nyeri / Kenyamanan, Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
10. Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea, potensial obstruksi.
11. Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
12. Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
13. keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen, pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
14. seksualitas, gejala: masalah pada seksual ( dampak pada hubungan, perubahan tingkat kepuasan )
15. Interaksi sosial : ketidakadekuatan sitem pendukung, riwayat perkawinan ( kepuasan rumah tangga, dudkungan ), fungsi peran.
( Doenges, 2000 )

F. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL dibuktikan dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubaan respon motorik / sensori, gelisah dan perubahan tanda vital
Kriteria evaluasi : Pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran , perbaiakan kognisi, fungsi motorik / sensorik, TTV stabil, tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi :
a. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
b. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nila standar ( GCS )
c. Pantau TTV
d. Kaji perubahan penglihatan dan keadan pupil
e. Kaji adanya reflek ( menelan, batuk, babinski )
f. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Auskultasi suara napas, perhatikan adananya hipoventilasi, dan suara tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
h. Pantau analisa gas darah
i. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
j. Berikan oksigenasi

2. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan neurovaskuler, kerusakan kognitif.
Kriteria evaluasi : pasien dapat, dipertahanakan pola nafas efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai atuiran / posisi miringsesuai indikasi
c. Anjurkan utuk bernapas dalam, jika pasien sadar
d. Lakukan penghisapan lendir dengan hati hati jangan lebih dari 10 – 15 detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan sekret
e. Pantau pengguanaan obat obatan depresan seperti sedatif
Kolaborasi:
f. Berikan O2 sesuai indikasi
g. Lakaukan fisioterapi dada jika ada indikasi

3. Nyeri ( akut ) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh SOL, peningkatan TIK, ditandai dengan : menyetakan nyeri oleh karena perubahan posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah condong keposisi sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas, penyempitan fokus pad dirisendiri, wajah menahan nyeri, perubahna pla tidur, menarik diri secara fisik
Kriteria evalusi : pasien melaporkannyeri berkurang, menunjukan perilaku untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri .
Intervensi :
a. kaji keluhan nyeri
b. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah, menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung, pernapasan dan tekanan darah.
c. Anjurkan untuk istirahat denn tenang
d. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai kebutuhan
e. Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien dapat toleransi terhadap sentuhan
f. Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya sembuh “ atau “ saya suka hidup ini “
Kolaborasi :
g. Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
h. Berikan antiemetiksesuai indikasi

4. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan atau integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai denagg disorientasi, perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu, konsentrasi buruk, perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan, perubahan pola perilaku
Kriteria evaluasi : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan fuingsi persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
a. Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara, afektif, sensoris dan proses pikir
b. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan letak tubuh, perhatkian adanya masalah penglihatan
c. Observasi repon perilaku
d. Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
e. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil, pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
f. pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
g. konsultasi dengan ahli fisioterapi / okupasi

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d peningkatan TIK, konsekuensi kemoterapi, radiasi, pembedahan, ( anoreksia, iritasi, penyimpangan rasa mual ) dibuktikan oleh : keluhan masukan makan tidak adekuat, kehilangan sensai pengecapan, kehilangan minat makan, ketidakmampuan untk mencerna yang dirasakan / aktual, berat badan 20 % atau lebih dibawah badan ideal untuk tinggi dan bentuk tubuh, penurunan penumpukn lemak / masa otot, sariawab, rongga mulut terinflamasi, diare,konstipasi, kram abdomen.
Krieteria evaluasi :pasien dapat mendemonstrasikan berat badan stabil, mengungkapkan pemasukan adekuat, berpartisipasi dalam intervensi spesifik untuk merangsang nafsu makan
Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
b. Ukur BB setiap hari sesui indikasi
c. Dorong pasien untuk makandiit tinggi kalori kaya nutrien sesui program
d. Kontrol faktor lingkungan ( bau, bising ) hindari makanan terlalu manis, berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
e. Identifikasipasien yang mengalami mual / muntah
Kolaborasi :
f. Pemberian anti emetik dengan jadwal reguiler
g. Vitamin A, D, E dan B6
h. Rujuk kepada ahli diit
i. Pasang / pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral
( Doenges, 2000 dan L.J Carpenito, 1997 )




Daftar Pustaka

Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC, jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan , ed 6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik proses- proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta